Saturday, September 24, 2005

Tukang Ketoprak

Ucup, begitu kami biasa memanggilnya. Ucup adalah seorang penjual ketoprak yang setiap malam mangkal di depan rumahku. Jam kerjanya mulai jam 6 hingga dini hari. Anehnya, dia hanya membekali diri dengan kaos sederhana dan sendal jepit untuk berjualan semalaman. Jadi kepikir, pernah masuk angin nggak ya?

Suatu malam sambil membeli ketopraknya kami mengobrol. Terbukalah lembaran masa lalunya. Sejak kecil Ucup sudah dididik untuk mandiri. Dari mengurus diri sendiri sampai memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Walau pun masih SD, Ucup telah bisa membeli baju sendiri dari hasil jerih payahnya. Kedua orang tuanya adalah seorang yang sederhana dengan hidup yang pas-pasan dan tinggal di sebuah desa kecil di Cirebon. Terbayang bahwa kehidupan keluarganya sangat sederhana di bawah garis kemiskinan.

Sayangnya Ucup sekolah hanya sampai SD. Dan sekarang dia menekuni bisnis ketopraknya. Setiap malam cukuplah omzetnya dengan harga jual 3 ribu rupiah. Dan sudah beberapa tahun ini harganya tetap 3 ribu. Padahal harga BBM dan inflasi sudah beberapa kali dilaluinya. Ketika kutanya, "Harga tidak naik, Cup?". Dengan lugu dia menjawab, "Tidak Mas, harga bahan bakunya tidak naik." Yap, jawaban yang menyentuh hati. Terbayang semua bahan baku Ketopraknya dan juga minyak tanahnya. Kebanyakan memang tidak naik. Tapi tidak tahu apa jadinya jika minyak tanah juga naik.

Baginya semuanya itu sudah cukup. Dengan biaya hidupnya yang sederhana, dia tidak perlu menaikkan harga ketopraknya. Dia tidak memerlukan apa-apa selain yang diperlukannya saja. Hebatnya lagi, dia mengaku tidak pernah sakit. Sejak dia kecil sampai sekarang tidak pernah sakit. Luar biasa.

Aku mengaguminya sebagai orang yang lugu, hidup sederhana sesuai dengan kebutuhannya saja, jujur dan juga tidak berpikir macam-macam. Dengan hidupnya yang sederhana, dia mampu menabung uang dalam jumlah yang banyak yang dia pergunakan untuk pulang ke Cirebon setiap bulan dan memberikan uangnya pada kedua orang tuanya. Benar-benar manusia alami dan juga tidak tersentuh teknologi dan gaya hidup materialistis. Dan yang terpenting adalah jiwanya yang manusiawi dan nrimo (menerima hidup apa adanya), selalu hidup untuk melayani walau pun upah yang dia terima tidak seberapa. Sungguh sulit menemukan penjual makanan seperti dia.

Setelah itu jadi menengok diri sendiri. Bisakah aku hidup seperti dia? Bisakah hidup sesuai dengan kebutuhan saja? Bisakah hidup dengan cara yang sederhana? Bisakah berpikir sederhana, tidak materialistis, tidak berambisi, tidak terobsesi, dan tidak-tidak yang lain, yang kebanyakan dipikirkan oleh orang-orang Metropolis?

Suatu jawaban yg sulit. Yang jelas, aku telah bertemu dengan orang-orang seperti Ucup, dan kebanyakan mereka telah berusia lanjut sekali. Aku yakin orang-orang seperti Ucup sangat diberkati Tuhan. Berkat itu biasanya usia yang lanjut dan ketahanan fisik yang luar biasa.

No comments: