Jumat (26/08/05) aku kembali dari Gorontalo. Kembali ke metropolitan. Kembali ke rutinitas. Kembali ke keramaian, ke hiruk pikuk & hingar bingar kehidupan, ke tempat yg tdk pernah tidur & selalu sibuk.
Aku terhenyak dari lamunan ketika baru tiba telah disuguhkan bermacam-macam tugas & banyak rencana kerja. Rupanya aku telah kembali terjebak rutinitas seperti layaknya kebanyakan orang metropolitan lainnya.
Tapi di tengah pekerjaan yg menumpuk yg telah menanti untuk kutuntaskan, pikiranku kembali melayang mengenang masa-masa di Gorontalo. Sebuah negeri yg cukup jauh dari Metropolitan. Sebuah negeri yg baru berkembang. Sebuah negeri yg dibentengi oleh alam (lihat blog "Gorontalo = Mangkuk Bumi?") . Sebuah negeri yg alami, dimana penduduknya masih bergantung pada alam. Sangat kontras dengan kehidupan metropolitan yg orang-orangnya sangat bergantung dengan teknologi.
Aku sangat menikmati bekerja di Gtlo. Tapi seringkali aku merasakan kontrasnya bekerja di Gtlo dgn bekerja di Metropolitan. Ada ritme bekerja yg lain, yg sering membuatku harus sejenak menunggu. Aku baru menyadari bahwa selama ini aku berlari, bekerja dgn cepat & sering tidak peduli dgn yg lain. Aku baru sadar bahwa aku berlari terlalu cepat sehingga sering kali tdk terkejar oleh orang lain.
Bekerja di Gtlo membuatku bekerja dgn berjalan & kadang kala harus berhenti menunggu agar orang lain dapat mengejarku. Tidak ada yg salah dengan berjalan & menunggu, justru itu membuatku semakin menyadari bahwa masih banyak hal yg harus dipelajari, dipahami & dinikmati dalam hidup ini.
Banyak orang-orang Metro yg bekerja extra keras demi mengejar impian mereka yg tinggi. Tapi mereka melupakan hal-hal lain dalam kehidupan ini. Belajarlah dari alam & kembalilah ke alam. Semuanya akan mengembalikan kehidupan kita kembali ke TUHAN.
No comments:
Post a Comment